Biografi Ibnu Abi Laila

| Jumat, 17 Februari 2017
IBNU ABI LAILA
Oleh: Nuha Shofiyah
  •    Sejarah Ibnu Abi Laila  (74-148 H)
Nama beliau adalah Muhammad bin Abd al Rahman bin Laili bin Bilal al Ansari al Kufi, akan tetapi lebih terkenal dengan nama Ibn Abi Laila. Beliau lahir di kuffah pada tahun 74 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. Beliau meninggal dunia di kuffah pada tahun 148 H selagi masih dalam jabatannya sebagai hakim. Beliau adalah salah seorang ulama terbesar dizamannya, seorang faqih dan mufti, serta termasuk pendukung ahlu Ra’yu. Beliau mengambil ilmu dari Asy-Sya’bi,Atho’ bin Abi Robbah,Qosim bin Abdirrohman dan yang lainnya.
            Beliau dikenal sebagai seorang mujtahid aliran rasional dan menjabat sebagai seorang hakim di Kuffah selama 33 tahun, yaitu pada sebagian  masa dinasti Umayyah dan sebagian lagi pada masa dinasti Abbasiyah.
            Berkata Muhammad bin Sirin:”aku bermajlis kepada Abdurrohman bin Abi Laila,dan para sahabatnya meninggikannya,seakan-akan beliau adalah pemimpin.”
            Diantara murid-murid beliau yang terkenal antara lain: Sufyan ast Saury, Imam Abu Yusuf dan lain-lain. Imam Abu Yusuf yang kemudian belajar pada imam Abu Hanifah menulis tentang pemikiran Ibn Abi Laila dan perbedaannya dengan  Imam Abu Hanifah, menulis tentang pemikiran Ibn Abi Laila dan perbedaannya dengan  Imam Abu Hanifah,
كتاب اختلاف ابي حنيفة و ابن ابي ليلى : و قد جمع في هذا الكتاب المسائل التي اختلف فيها ابو حنيفة مع ابن ابي ليلى, و في جملتها كان ينتصر لابي حنيفة
“Kitab Ikhtilaf Ibnu Hanifa Wa Ibn Abi Laila : telah dikumpulkan di dalam kitab ini perbedaan pendapat tentang beberapa persoalan antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, dan sebagian besar dimenangkan oleh Abu Hanifah”.
Adapun perbedaan pendapat keduanya dalam kitab ini dikelompokkan menjadi 35 bab, diantaranya membahas tentang sholat, zakat, puasa, haji, hutang piutang, shodaqoh dan hibah, wasiat, mawaris, ghasab, muzaro’ah, mudhorobah dan lain-lain.
 Diantara perbedaan pendapat abu hanifah dan abi laila mengenai sholat yaitu:  “Berkata Abu Yusuf r.a: ‘ketika seorang laki-laki sholat pada hari tasyrik dan salah satu diantaranya juga ada wanita, kemudian Abu Hanifah r.a berkata: ‘jangan bertakbir atasnya (laki-laki itu) dan jangan bertakbir kepada sesorang yang sholat berjamaah selain di Mesir  dan jangan bertakbir kepada musafir.’ Dan Abi Laila berkata: ‘bertakbirlah kepada mereka.’ Abu Yusuf mengabarkan kepada kita dari ‘Abidah dari Ibrahim sesungguhnya berkata: ‘bertakbirlah kepada musafir, kepada orang yang muqim, kepada salah seorang yang sholat berjama’ah dan kepada perempuan. Dan dengan ini kita mengambilnya’.”
Sedangkan perbedaan pendapat mengenai zakat misalnya: “Dari Abu yusuf r.a berkata: ‘ jika ada hutang atas seseorang seribu dirham, dan untuk orang itu orang lain berhutang seribu dirham, kemudian ditangannya seribu dirham, maka abu hanifah r.a berkata: ‘tidak wajib orang tersebut zakat atas seribu dirham yang ditangannya sampai keluar dari hutang sehingga dia berzakat.’ Dan berkata ibnu abi laila: ‘wajib untuk orang tersebut zakat atas seribu dirham yang ada di tangannya’.”
Dan perbedan pendapat tentang puasa misalnya“Berkata abu yusuf r.a: ‘ketika sesorang berpuasa satu hari dari bulan ramadhan dan orang itu ragu tentang sesungguhya hari itu dari bulan ramadhan, kemudian dia mengetahui setelah itu bahwa hari itu dari bulan ramadhan, maka abu hanifah r.a berkata: ‘pahala atasnya dan dengan ini kita mengambil’. Sedangkan abi laila berkata: ‘tidak ada pahala, dan wajib atasnya mengganti pada hari yang lain’.
  •  Setting Politik Pada Masa Ibn Abi Laila
Ibn Abi Laila berkata: “Saya tidak suka membantah sahabatku, ada kalanya saya mendustakannya dan adakalanya saya memarahinya”. Pada waktu itu kota Kuffah merupakan pusat pertemuan ulama Fiqh yang cenderung rasional, sehingga ia pun menekuninya. Di kota ini terdapat madrasah yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63 H / 682 H). Kemudian berlanjut dibawah kepemimpinan Ibrahim al-Nakha’i lalu Hammad bin Sulaiman al- Asy’ari (wafat 120) dan dari imam Hammad inilah Imam Abu Hanifah belajar Fiqh dan Hadist. Imam Hammad sering mewakilkan pada beliau dalam mengajarkan agama dan memberi fatwa. Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas masalah fiqh
  • Wacana Keilmuan Pada Masa Ibn Abi Laila
Ibn Abi Laila dikenal sebagai seorang mujtahid aliran rasional, dan hakim di Kuffah selama 33 tahun, sebagian pada masa dinasti Umayyah dan sisanya pada masa dinasti Abbasiyah. Al Sauri mengatakan: “Ahli fiqh kita adalah Abi Laila dan Syubrumah.”
 Ia sangat egois dengan pendapat dan fatwanya. Pikiran-pikirannya selalu ingin dilaksanakannya dengan tanpa ragu-ragu, bahkan tanpa memperdulikan pendapat orang lain, manakala ia telah merasa yakin bahwa pendapatnya adalah benar. Lebih jauh,  bila perlu ia mencari dukungan pemerintah agar mau melarang pendapat lawannya. Pemerintah sendiri biasanya memenuhinya, karena pertimbangan kelebihan yang dimiliki dan keilmuannya.
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang dari kantor, ia mendengar umpatan seorang perempuan terhadap seorang laki-laki:” Hai anak para pelacur.”. sesudah itu ia memerintahkan untuk menagkap perempuan tersebut. Ia kembali ke pengadilan untuk menyidang perempuan tersebut dan dalam keputusannya ia menyatakan bahwa perempuan tersebut bersalah dan menghukumnya dengan dua kali hukuman. Pelaksanaan hukuman diselenggarakan di masjid dan memerintahkan terdakwa berdiri.
Peristiwa ini sampai ke telinga Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M). Kemudian beliau berkomentar:” Hakim itu telah melakukan beberapa kesalahan. Pertama, ia kembali ke pengadilan padahal tugasnya telah selesai. Kedua, pelaksanaanya dimasjid, padahal Rasulullah Saw. melarangnya. Ketiga, menghukum sambil berdiri, padahal seharusnya menghukumnya sambil duduk. Keempat, menghukumnya dua kali, padahal tuduhan atas sejumlah orang dengan satu ucapan haruslah satu kali saja. Kelima, kalaupun harus dua kali, maka kedua antara hukuman tadi harus ada jarak waktu sampai luka atas hukuman pertama telah sembuh. Keenam, hukuman dilakukan padahal tanpa adanya tuntutan dari pihak korban.”
Ketika kritik Abu Hanifah ini sampai pada telinga Ibn Abi Laila, ia segara menulis surat pengaduan kepada penguasa Kuffah. Ia meminta pemerintah agar menghukum Abu Hanifah dan melarangnya berfatwa. Pemerintah memenuhi tuntutannya akan tetapi Abu Hanifah menolaknya.
  •  Metode Istinbat Yang Dipakai Ibn Abi Laila
Sifat cara berfikir Ibn Abi Laila memperlihatkan corak formalitas yang agak kaku, yang mana pertimbangan praktis corak berfikir, khususnya pertimbangan yang bersifat teknis masih banyak dipergunakan. Beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu dengan menggunakan qiyas dan istihsan. sebelum Imam Abu Hanifah meriwayatkan bahwasannya Abu Laila berkata tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil kuat yang menjelaskan wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahui metode pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara Ishtishab yaitu al-Bara’ah al-Ashliyah (pada asalnya tidak ada hukum) dalam menetapkan suatu hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu maka tetap tidak ada wajib zakat.

Daftar pustaka

1.      At-thorify, Dr.Nasir bin Aqiil bin jasir, Tarikh Fiqh Al-Islami, Maktabah Tauhid
2.      Ad-Dhohafi, Imam Syamsudin, Siyaru A’lami An-Nubala’(jld.4), Darul Kutub Al-Ilmiyah,Beirut-Libanon, 2010
3.      http://sepenggalkreasi.blogspot.co.id/2014/05/sejarah-ibn-abi-laila.html


edit

4 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Instagram

BTemplates.com

Popular Posts

Pages

Blogroll

About

Pages - Menu

Popular Posts

© Design 1/2 a px. · 2015 · Pattern Template by Simzu · © Content coretan sederhana