HAK WARIS BAGI ANAK ZINA DAN LI’AN
|
Rabu, 07 Maret 2018
HAK WARIS BAGI ANAK ZINA DAN LI’AN
Oleh: Nuha Shofiyah
I. PENDAHULUAN Agama islam merupakan agama yang syumul. Syariat telah mengatur segala aspek kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya hak waris. Rasulullah SAW memerintahkan agar warisan diberikan kepada ahli waris yang berhak dan jika harta tersebut sisa maka, diserahkan kepada laki-laki yang paling dekat dengan si mayit. Sebagimana tertera dalam hadits: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ "Dari Ibn Abbas, ia berkata, bersabda Rasulullah Saw, ”Berikanlah bagian kepada ahli waris yang mendapat bagiannya sudah ditentukan maka apabila masih ada sisa dari bagian tersebut maka menjadi hak ahli waris dari kelompok laki-laki yang lebih dekat dengan mayit.”(HR. Ahmad) Salah satu penyebab seseorang itu bisa saling mewarisi adalah karena adanya pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam. Sang anak bisa mewarisi harta kedua orang tuanya, begitu pula sebaliknya. Lalu bagaimana jika adanya anak tersebab karena hubungan di luar akad shohih, seperti anak Zina dan Li’an? Apakah hukum warisnya sama seperti anak dari pernikahan shohih?
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Wahbah Zuhaili anak zina adalah:
ولد الذي أتت به أمه من طريق غير شرعي, أو هو ثمرة العلاقة المحرمة
“Anak yang dilahirkan oleh ibunya karena perbuatan yang dilarang oleh syariat, yakni zina, atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita.“
Sedangkan anak li’an adalah:
ولد الذي ولد على فراش زوجة صحيحة, و حكم القاضي بنفي نسبه من الزوج بعد
ملاعنة الحاصلة بينه و بين زوجته
“Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami-isteri itu diambil sumpahnya (li’an).”B. Dasar Hukum
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.“ (QS. Al-Isra : 32).
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لَا يَرِثُ وَلَا يُوْرَثُ
“Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan (bapak biologisnya).” (HR. Al-Tirmidzi)
عَنْ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنّهُ جَعَلَ مِيرَاثَ ابْنِ الْمُلَاعَنَةِ لِأُمّهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا
“ Diriwayatkan dari Nabi Muhammad. Bahwasannya dia menjadikan hak waris anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu setelah ibu” (HR. Abu Dawud)C. Hak Waris Anak Zina dan Anak Li'an
Setiap dari anak zina dan anak li’an tidak bisa saling mewarisi antara anak itu, ayah, dan kerabat ayahnya berdasarkan ijma’ ulama’. Dia hanya bisa mewarisi dari garis ibu saja, sebab nasabnya dari arah ayah terputus. sementara dari arah ibu nasabnya tersambung. Maka, ia dinasabkan kepada ibunya, sebab syara’ tidak menganggap zina sebagai jalan yang legal (syar’i) untuk penetapan nasab dan juga karena anak li’an nasabnya tidak dapat ditetapkan dari ayahnya. Oleh karena itu, masing-masing dari anak zina dan li’an menurut imam empat mewarisi dari ibunya dan kerabatnya. Maksud dari kerabat di sini adalah saudara-saudara laki-laki seibu dengan furudz saja. Untuk ibu dan saudara-saudara laki-laki dari ibu mewarisi darinya juga dari furudz saja. Sebab hubungannnya dengan ibunya pasti, tidak ada keraguan di dalamnya. Dia tidak mewarisi atau diwarisi dengan ashobah. Kecuali karena sebab wala’ atau anak, maka dia diwarisi oleh orang yang memerdekakannya atau memerdekakan ibunya, atau anaknya dengan cara ashobah. Demikian juga dia mewariskan kepada laki-laki yang memerdekakannya atau anaknya dengan cara ashobah juga. Syiah Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada hak waris antara anak zina dan ibunya juga kerabat ibunya, sebagaimana halnya dengan ayahnya yang berzina dan kerabatnya. Sebab warisan adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada ahli waris. Maka, tidak boleh penyebabnya adalah tindakan kejahatan seperti zina. Adapun anak li’an menurut mereka mewarisi ibunya. Sebab, kadang-kadang salah seorang dari orang tua yang melakukan li’an adalah bohong dengan pengakuannya. Maka kejahatan bukanlah penyebab ketiadaan nasab. Namun, pendapat yang pertama mengenai anak zina adalah lebih utama, untuk meringankan anak. Sebab kejahatan adalah kejahatan ibu. Maka anak tidak dihukum karena kejahatan ibunya. Adapun ayah, nasab darinya tidak kuat. Tersebut dalam sunnah:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لَا يَرِثُ وَلَا يُوْرَثُ
“Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan (bapak biologisnya)“. (HR. Al-Tirmidzi)
عَنْ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنّهُ جَعَلَ مِيرَاثَ ابْنِ الْمُلَاعَنَةِ لِأُمّهِ وَلِوَرَثَتِهَا مِنْ بَعْدِهَا
“ Diriwayatkan dari Nabi Muhammad. Bahwasannya dia menjadikan hak waris anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu setelah ibu” (HR. Abu Dawud)
Tersebut dalam hadits dua orang yang berli’an yang diriwayatkan oleh Sahl bin S’ad, dia berkata jika si perempuan hamil. Anaknya dinasabkan kepada ibunya. Maka berlangsunglah sunnah bahwa anak itu mewarisi ibu dan ibu mewarisi darinya apa yang ditentukan Allah kepada ibu.
Jika seseorang mati, meninggalkan ibu, saudara laki-laki seibu, saudara laki-laki seayah ilegal, ibu memperoleh dua pertiga dari furudz dan rodd, saudara laki-laki seibu sepertiga baik furudz dan radd. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan apa-apa, sebab dia ilegal.
Jika anak zina atau anak li’an mati meninggalkan ibu, ayahnya ibu, dan saudara laki-laki ibu, maka semua tirkah untuk ibu, yaitu sepertiga dengan fardh dan sisa melalui radd. Ayah ibu (kakek anak itu dari ibunya) saudara ibu (paman anak itu) tidak mendapatkan apa-apa karena keduanya termasuk dzawil arham.
Jika salah seorang dari anak zina dan li’an mati meninggalkan ibu, saudara laki-laki seibu, maka ibu mendapatkan dua pertiga dengan furudh dan radd. Saudara laki-laki seibu mendapatkan sepertiga melalui furudh dan radd.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap dari anak zina dan anak li’an tidak bisa saling mewarisi antara anak itu, ayah, dan kerabat ayahnya berdasarkan ijma’ ulama’. Dia hanya bisa mewarisi dari garis ibu dan kerabatnya saja, sebab nasabnya dari arah ayah terputus. Maksud dari kerabat di sini adalah saudara-saudara laki-laki seibu dengan furudz saja. Untuk ibu dan saudara-saudara laki-laki dari ibu mewarisi darinya juga dari furudz saja. Dia tidak mewarisi atau diwarisi dengan ashobah. Kecuali karena sebab wala’ atau anak, maka dia diwarisi oleh orang yang memerdekakannya atau memerdekakan ibunya, atau anaknya dengan cara ashobah. Demikian juga dia mewariskan kepada laki-laki yang memerdekakannya atau anaknya dengan cara ashobah juga.
B. Saran
Zina merupakan perbuatan yang dilaknat Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkategorikannya sebagai dosa besar. Selain pelakunya mendapat balasan yang setimpal, zina juga mengakibatkan terputusnya nasab anak dari seorang ayah. Ada sebab lain yang menyebabkan terputusnya nasab anak dari seorang ayah yaitu li’an.
Oleh sebab itu hendaknya seorang muslim selalu mawas diri dalam bertindak. Sebab jika seseorang melakukan kedua perbuatan tersebut, maka akibatnya bukan hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, namun juga anak keturunannya. Bukan hanya pada permasalahan warisan saja, akan tetapi lebih dari itu, yakni harga diri. Wallahu A’lam Bish Showab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Kariim
Ahdal, Al-, Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah, 1983, Al-Ankihatul Fasidah, cet.ke-1 Riyadh: Maktabah Dauliyah
Ahmad, Imam, 2001, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, cet.ke-1, jilid. 4, Beirut: Muassatur Risalah
Dawud, Imam Abu, 2013, Sunan Abi Dawud,, cet.ke-4, jilid. 4, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah
Tirmidzi, Imam, 2016, Sunan Tirmidzi Wahwa Al-Jami’ As-Shohih , cet.ke- 6, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah
Zuhaili, Wahbah, 2014, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, cet.ke-34, jilid.8, Damaskus: Darul Fikr
edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar