AL-QORDH

| Rabu, 07 Maret 2018

AL-QORDH

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Mu’amalah
                     Dosen Pengampu: Ustadz. Fajrun Mustaqim
                                                       
  
Oleh:
FATHIMAH AZ-ZAHRO
NUHA SHOFIYAH


MA’HAD ALY HIDAYATURRAHMAN
PILANG MASARAN SRAGEN
1438/2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Dan salah satu penyebab munculnya perkara ini adalah ketidakmerataan dalam hal materi antara satu orang dengan yang lain.
Islam sebagai agama yang syumul juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Khususnya utang piutang (qordh). Betapa banyak praktek perbankan yang mengatas namakan syari’ah Islam, namun riba di dalamnya tak terhindarkan. Oleh karena itu, perkara hutang piutang ini sangatlah penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, kami mencoba untuk menguraikan konsep utang piuang dalam islam, kami mempersembahkan makalah ini sebagai wujud sumbangsih khazanah disiplin ilmu fiqh mu’amalah baik bagi mahasiswa Ma’had ‘Aly Hidayayaturrahman maupun khalayak umum.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa definisi  qardh?
2.       Apa landasan hukum qardh?
3.      Apa saja rukun qardh?
4.      Bolehkah adanya khiyar (hak pilih) dan batas waktu dalam qardh?
5.      Apa hukum dari qardh?
6.      Apa saja syarat diperbolehkannya qardh?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan definisi qardh.
2.      Untuk memaparkan landasan hukum mengenai al-Qardh.
3.      Untuk menjelaskan rukun qardh.
4.      Untuk memaparkan hukum khiyar dan batas waktu dalam qordh.
5.      Untuk menjelaskan hukum dari qordh.
6.      Untuk menjelasskan syarat yang di perbolehkan dalam qordh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Menurut bahasa berarti terputus, dan harta yang diberikan kepada orang yang meminjam dinamakan qardh karena terputus dari pemiliknya. Sedangkan menurut istilah adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.[1]
Menurut Hanabilah qardh merupakan bagian dari akad salaf,  karena sang peminjam memanfaatkan sesuatu yang dipinjamnya.[2]
B.     Landasan Hukum
Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqoroh ayat 245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Sedangkan menurut sunnah, sabda Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam: “Barang siapa yang memberi pinjaman kepada seorang mulim 1 dirham sebanyak dua kali, dia berhak mendapat ganjaran sedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)
Kaum muslimin telah bersepakan tentang kebolehan qordh dalam islam. [3]

Hukum qardh sunnah bagi pemberi hutang (muqrid), dan mubah bagi penerima utang (muqtarid) berdasarkan hadits di atas.
C.     Rukun-Rukun Qardh
1.      Shighoh (ijab dan qobul)
Mengenai shighohnya maka bisa menggunakan lafadz qardh seperti “aku menghutangimu”[4] atau salaf karena keduanya digunakan dalam lafadz syariat. Dibolehkan juga dengan lafadz yang semakna dengan keduanya seperti kata-kata.”malaktuka haadzaa li turodda li” (aku berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya kepadaku).[5] Sedangkan untuk lafadz malaktuka” (aku memberikannya kapadamu) namun tidak disebutkan syarat untuk mengembalikannya maka itu bukan termasuk qardh, melainkan hibah.[6]
2.      Aqidain (pelaku transaksi)
Dan disyaratkan bagi pelaku qardh seorang yang mampu mengelola harta, karena qardh berkenaan dengan akad harta sehingga tidak sah kecuali dilakukan oleh orang-orang yang cakap dalam mengelola harta seperti halnya jual beli.
Dan disyaratkan juga bagi pemberi hutang “ahliyatu tabarru” atau kecakapan untuk melakukan tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, balgh, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Sedangkan bagi penerima hutang disyaratkan memiliki kecakapan dalam bermuamalah.[7]
3.      Ma’qud ‘alaihi (harta muqridh)
Para ulama berbeda pendapat mengenai barang ini:        
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qardh dibolehkan pada harta mitsli yaitu harta yang bisa ditakar seperti biji-bijian, yang bisa ditimbang seperti kapas, yang bisa diukur seperti kain, yang bisa dijual satuan dengan ukuran yang tidak jauh berbeda yang satu dengan yang lain seperti kelapa dan telur serta kertas satu ukuran. Dan diperbolehkan juga qardh pada roti, baik dijual secara ditimbang atau satuan, karena roti merupakan kebutuhan khalayak orang banyak. Akad qardh tidak diperbolehkan pada harta qimiyyat (harta yang dihitung berdasarkan nilainya) seperti hewan, kayu bakar, dan properti. Dan begitu juga barang satuan yang jauh berbeda antara satuannya. Hal ini dikarenakan sulit mengembalikan harta semisalnya.
Jumhur berpendapat bahwa diperbolehkan melakukan qardh apada setiap harta mitsli seperti emas, perak dan makanan, ataupun pada harta qimiy seperti barang-barang dagangan, binatang dan yang semisal, berdasarkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ bahwa nabi pernah meminjam unta bakr (unta yang masih muda). Unta tidak termasuk kategori harta yang bisa ditakar dan ditimbang. Dan alasan lainnya, sesuatu yang dapat dijadikan objek kamoditi salam yang bisa dimiliki dengan akad jual beli dan diidentifikasi dengan sifatnya, maka ia boleh dijadikan objek akad qardh sebagaimana barang yang ditakar dan ditimbang.[8] Sedangkan komoditi yang tidak dibolehkan dijadikan objek transaksi salam maka tidak sah untuk digunakan dalam transaksi qardh, seperti permata dan sejenisnya. Karena akad qardh menuntut adanya pengembalian benda serupa, sedangkan benda yang tidak tentu dan langka tidak mungkin atau susah untuk dikembalikan yang semisal dengannya.
Akad qardh sah dilangsungkan pada setiap benda yang boleh diperjual belikan kecuali manusia. Jika dia budak maka boleh diperjual belikan namun tidak boleh dipinjamkan (qardh) karena itu merupakan sesuatu yang hina bagi seorang muslim dan ditakutkan menyebabkan fitnah dan kerusakan.[9] Sedangkan untuk  budak wanita dikarenakan akan mengakibatkan adanya pinjam meminjam kehormatan.[10]
Tidak sah melakukan qardh atas manfaat atau jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah. Seperti mengizinkan orang lain tinggal dirumahnya dengan imbalan orang tersebut mengizinkannya tinggal di rumah orang itu, atau membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memanen sehari.
Begitu juga tidak sah akad qardh pada benda yang tidak bisa ditetapkan menjadi tanggungan, seperti tanah, gedung, toko dan kebun, karena qardh menuntut adanya pengembalian benda semisal, dan benda-benda tersebut tidak ada misalnya.
D.    Hukum Khiyar (Hak Pilih) Dan Batas Waktu Dalam Qardh.
Khiyar syarat dan khiyar majlis tidak berlaku dalam akad qardh karena khiyar ditujukan untuk membatalkan perjanjian atau akad, sedangkan dalam akad qardh, siapa saja dari kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan akad bila ia berkehendak, sehingga hak khiyar ini menjadi tidak bermakna. 
Mengenai batas waktu,  jumhur fuqoha’  tidak membolehkannya dijadikan sebagai syarat dalam akad qardh. Oleh karenanya, apabila akad qardh ditangguhkan sampai batas waktu tertentu, maka ia akan tetap dianggap jatuh tempo. Karena pada dasarnya ia sama dengan bentuk jual beli dirham dengan dirham, sehingga bila ada penangguhan waktu maka ia akan terjebak dalam riba nasi’ah. Dan dikarenakan pula qardh adalah salah satu bentuk kegiatan sosial, maka pemberi pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo.
Meskipun demikian, para ulama Hanafiah berpendapat diperbolehkannya penangguhan dalam qardh, meski bukan suatu keharusan. Namun bisa menjadi keharusan dalam hal:
1.      Wasiat. Yaitu apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan hartanya pada orang lain sampai waktu tertentu, satu tahun misalnya. Maka dalam kondisi ini, ahli waris tidak boleh menagih peminjam sebelum jatuh tempo.[11]
2.      Adanya penyangsian. Yaitu tatkala akad qardh disangsikan, kemudian pemberi pinjaman menangguhkannya. Maka pada saat ini batas waktu menjadi keharusan.
3.      Keputusan pengadilan. Yaitu bila hakim memutuskan keharusan akad qardh dengan batas waktu.
4.      Dalam akad hiwalah (pengalihan hutang), yaitu jika peminjam mengalihkan tanggungan hutangnya pada pihak ketiga, lalu pemberi pinjaman menangguhkan hutang itu. Atau ia mengalihkan tanggungan hutangnya pada peminjam lain yang hutangnya ditangguhkan. Dengan demikian sebenarnya akad hiwalah merupakan akad penangguhan hutang, bukan akad qardh.
Imam Malik berpendapat bahwa akad qardh boleh diundurkan dengan penangguhan berdasarkan sabda Nabi saw,
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang disepakati diantara mereka.” (HR. Ahmad)
E.     Hukum Qardh
Ditinjau dari dua sisi:
Pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, Syafi’iyyah dan Hanabilah: ditetapkannya harta qardh jika terjadi serah terima barang, bagi yang meminjam ia mengembalikan dengan harta yang semisal bukan harta yang telah dipinjamkan, seperti takaran dan timbangan. Adapun menurut pendapat Syafi’iyyah, maka dikembalikan dengan semisalnya, karena Nabi Saw meminjam unta yang masih muda dan dikembalikan dengan unta yang lebih tua, dan beliau bersabda : “sesungguhnya pilihan kalian adalah sebaik-baik pembayaran (keputusan). Pendapat Hanabilah ada dua sisi: pertama, dikembalikan dengan yang semisalnya , kedua, dikembalikan dengan yang semisal yang sifatnya hampir sama dengan yang dipinjam.
Malikiyah berpendapat bahwa ditetapkannya kepemilikan dalam qardh yaitu adanya ijab qabul seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjam  barang), walaupun hartanya belum diserahkan. Peminjam boleh mengembalikan harta semisal yang telah dipinjam dan boleh juga mengembalikan harta yang dipinjam itu sendiri. Baik itu harta mitsliyat atau tidak. Hal itu terjadi selama harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika terjadi perubahan, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya...
Tempat pengembalian qardh: Para Ulama bersepakat bahwa pengembalian  barang pinjaman hendaknya di tempat di mana akad qardh itu dilaksanakan, dan boleh juga mana saja apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak ada halangan di jalan, sebaliknya jika terdapat halangan apabila membayar di tampat lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.
Qordh yang mendatangkan keuntungan
Para fuqaha bersepakat atas haramnya qardh yang mendatangkan keuntungan, karena hal itu adalah riba. Maka tidak diperbolehkan bagi  pemberi pinjaman mengambil  keuntungan dari harta yang telah dipinjamkan.
Jika tidak mensyaratkan adanya keuntungan, maka makruh tahrim jika adanya keuntungan menurut  Hanafiyah[12], kecuali jika ada izin dari peminjam maka tidak makruh lagi, sebagaimana yang termaktub dalam buku Hanafiyah yang mu’tabar. Tetapi, sebagian Ulama tetap tidak memperbolehkannya meski sudah ada izin peminjam. Pendapat ini yang sesuai dengan ruh syariat berkaitan dengan pengharaman riba.
Malikiyah, Hasan Al-Bashri,’Al-Auza’i[13]  berpendapat bahwa haram memberi hadiah kepada orang yang dipinjami jika bermaksud untuk menunda pembayaran dan sebagainya, dan diperbolehkan melebihkan bayarannya ketika melunaskan hutang apabila hutangnya disebabkan oleh jual beli. Apabila disebabkan oleh akad qardh, maka diharamkan jika tambahannya merupakan syarat, janji ataupun kebiasaan yang berlaku. Dan diperbolehkan jika bukan karena syarat, janji ataupun kebiasaan yang berlaku, karena Nabi saw meminjam unta muda dan membayarnya dengan unta yang lebih tua dan pilihan. Imam Malik menjelaskan bahwa tambahan tidak diperbolehkan kecuali pada jumlah yang sedikit sekali. Adapun hal itu diperbolehkan oleh Ibnu Habib.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, karena Nabi saw melarang salaf (hutang) dengan jual beli, dan yang dimaksud dengan salaf adalah qardh. Dan riwayat dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas[14], bahwa mereka melarang qardh yang mendatangkan manfaat.
Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan melunasi hutang dengan menambahkannya apabila tidak ada syarat tertentu dalam qardh, baik ia membayarnya dengan barang yang lebih baik sifatnya atau kadarnya. Berdasarkan riwayat Abu Rafi’ r.a bahwa ia berkata, “Rasulullah pernah berutang unta yang masih muda kepada seseorang, lalu beliau mendapat unta sedekah. Maka beliau menyuruhku untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta muda. Maka aku berkata, “wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan kecuali unta yang lebih tua dari jenis yang bagus”, lalu beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya, sesungguhnnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalm membayar hutang”.
Diriwayatkan pula dari Jabir r.a, ia berkata, “Aku mempunyai hak hutang pada Nabi saw, kemudian beliau membayarkan dan menambah bayarannya.
Ringkasannya : jumhur memperbolehkan penambahan dalam membayar hutang apabila didalamnya tidak terdapat syarat tertentu, seperti yang telah dijelaskan oleh Malikiyah sebelumnya.
F.     Syarat Diperbolehkannya Qardh
Akad qardh diperbolehkan dengan dua syarat:
a.       Tidak mendatangkan keuntungan, hal ini dilarang berdasarkan kesepakatan Para Ulama, jika keuntungan tersebut untuk pemberi pinjaman.[15]
b.      Akad qardh tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli atau selainnya. Adapun hadiah dari pihak peminjam, maka menurut Malikiyah hal itu tidak boleh diterima oleh pemberi pinjaman karena dapat mengarah pada penundaan pelunasan. Sedangkan Jumhur Ulama membolehkannya jika bukan merupakan syarat.[16]
Akad Suftajah[17] adalah transaksi keuangan dimana seorang pemberi pinjaman memberikan pinjaman dana pada peminjam di suatu daerah, lalu peminjam, wakilnya atau orang yang berutang padanya berkewajiban melunasi pinjaman itu kepada pemberi pinjaman, wakilnya atau orang yang memberinya pinjaman di daerah lain.
Maka hal ini dilarang menurut Jumhur, karena merupakan qardh yang mendatangkan keuntungan, dan hal ini diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat menurut pendapat Malikiyah, untuk menjaga hartanya. Dan menurut pendapat Hanabilah hal ini diperbolehkan apabila tanpa adanya pembayaran, karena adanya keuntungan tersebut bukan hanya oleh si peminjam, namun dirasakan oleh kedua belah pihak.
Tabungan pos dan surat deposito
Harta yang dititipkan (ditabung) oleh nasabah pada kenyataannya adalah pinjaman, bukan penitipan, karena harta yang dititipkan tersebut dikelola oleh bank kemudian dimanfaatkan untuk pinjaman ribawi. Dan bahwasanya pihak bank tidak boleh mengelola harta yang dititipkan tersebut, tetapi apabila yang menitipkan harta tersebut mengizinkan hartanya untuk dikelola, maka ia berubah kedudukannya dari wadi’ah (titip-menitip)  manjadi qardh.
Bahwasanya harta deposito dan tabungan pos yang dititipkan di bank tersebut  diambil keuntungan dari harta yang dititipkan, dan sebagian keuntungan tersebut diberikan kepada si penitip, dan sisanya adalah untuk pihak bank. Dan keuntungan yang sudah dipatok dengan bunga tahunan tertentu di dalam deposito tidak sesuai dengan syariat. Adapun yang diperbolehkan adalah laba diberikan tanpa ditentukan jumlahnya dan adanya kesepakatan bahwa kerugian ditanggung bersama bila hal itu terjadi. Jika dia hanya mendapatkan keuntungan dan tidak ada kerugian, maka hal ini diharamkan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Qardh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
2.      Rukun qardh adalah Ijab dan qabul, pelaku transaksi, harta muqrid, dan khiyar (hak pilih).
3.      Ditetapkannya harta qardh jika terjadi serah terima barang, bagi yang meminjam ia mengembalikan dengan harta yang semisal. Para fuqaha bersepakat atas haramnya qardh yang mendatangkan keuntungan, karena hal itu adalah riba, Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan melunasi hutang dengan menambahkannya apabila tidak ada syarat tertentu dalam qardh.
4.      Jumhur berpendapat dalam akad qardh pemberi pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo, sedangkan ulama Hanafiah berpendapat diperbolehkannya penangguhan dalam qardh.
5.      Akad qardh diperbolehkan dengan dua syarat, pertama: tidak mendatangkan keuntungan, kedua: akad qardh tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli atau selainnya.
B.     Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran  yang membangun.











DAFTAR PUSTAKA
1.      Sabiq, Sayyid. 1977. Shohih Fiqh Sunnah. Beirut, Libanon: Darul Kutub Al-Aroby.
2.      Al-Jazir, Abdurrohman. 2003. Al-Fiqh ‘Ala Madzhabil Arba’ah. Beirut, Libanon: Darul Fiqh.
3.       Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Islam Waadillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
4.      Asy-Syarbini, Muhamad al-Khotib. 1994. Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfazh al-Minhaj. Beirut, Libanon: Darul Fikr.
5.      As-Suyuti, Musthofa. 1994. Ghoyatul Muntaha. Al-Maktab Al-Islam.
6.      As-Sayrozi, Imam. Tth. Almuhadzab Fi Fiqh Imam Syafi’i. Beirut, Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah
7.      Al-Utsaimin, Muhammad bin Sholih. 2008. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’. Mesir: Jannatul Afkar.
8.      Al-Khiraqi, Imam Abi Qasim Amru bin Husain. Al-Mughni. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.


[1] Sayyid Sabiq, Shohih Fiqh Sunnah (Beirut: Darul Kutub Al-Aroby 1397 H-1977 M) jilid: 3, hlm: 144, cetakan: 3
[2] Abdurrohman Al-Jazir, Al-Fiqh ‘Ala Madzhabil Arba’ah (Beirut: Darul Fiqh Al-Ilmiyah 1424 H-2003 M) jilid:2, hlm:304, cetakan:2
[3] Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405 H-1985 M) jilid: 4, hlm: 720, cetakan:2
[4] Imam Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah 1415 H-1994 M), juz 3, hlm 30, cetakan: 1
[5] Musthofa As-Suyuti, Ghoyatul Muntaha, (Al-Maktab Al-Islam 1415 H-1994 M), juz:3, hal 238, cetakan: 2
[6] Imam As-Sayrozi, Almuhadzab Fi Fiqh Imam Syafi’i, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah), juz 2,hlm 82
[7]Imam Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah 1415 H-1994 M), juz 3, hlm 31, cetakan: 1
[8] Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405 H-1985 M) jilid: 4, hlm: 723, cetakan:2      
[9] Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’ (Mesir: Jannatul Afkar 2008 M) jilid: 4, hlm: 52, cetakan: 1
[10] Musthofa As-Suyuti, Ghoyatul Muntaha, (Al-Maktab Al-Islam 1415 H-1994 M), jilid:3, hlm 240, cetakan: 2
[11] Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405 H-1985 M) jilid: 4, hlm: 722, cetakan:2
[12] Abdurrahman Al-Jaziri, , Al-Fiqh ‘Ala Madzhabil Arba’ah (Beirut: Darul Fiqh Al-Ilmiyah 1424 H-2003 M) jilid:2, hlm:304, cetakan:2
[13] Imam Abi Qasim Amru bin Husain Al-Khiraqi, Al-Mughni,(Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah), jilid 3, hlm: 557, cetakan: 1
[14] Imam Abi Qasim Amru bin Husain Al-Khiraqi, Al-Mughni,(Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah), jilid 3, hlm: 557, cetakan: 1
[15] Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuh, (Damaskus: Darul Fikr 1405 H-1985 M), jilid: 5, hlm: 3796, cetakan: 2.
[16] Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuh, (Damaskus: Darul Fikr 1405 H-1985 M), jilid: 5, hlm: 3796, cetakan: 2.
[17] Suftajah atau saftajah atau saftujah-penyebutan yang pertama adalah yang paling masyhur-merupakan kata serapan dari bahasa Persia. Maknanya kertas yang ditulis oleh pemberi pinjaman kepada orang yang akan menjadi wakilnya untuk menerima pelunasan hutang di tempat yang telah disepakati.

edit
Postingan Lebih Baru Postingan Lama
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Instagram

BTemplates.com

Popular Posts

Pages

Blogroll

About

Pages - Menu

Popular Posts

© Design 1/2 a px. · 2015 · Pattern Template by Simzu · © Content coretan sederhana