AL-QORDH
|
Rabu, 07 Maret 2018
AL-QORDH
Makalah
ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu: Ustadz.
Fajrun Mustaqim
Oleh:
FATHIMAH AZ-ZAHRO
NUHA SHOFIYAH
MA’HAD
ALY HIDAYATURRAHMAN
PILANG
MASARAN SRAGEN
1438/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hutang
piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan
manusia. Dan salah satu penyebab munculnya perkara ini adalah ketidakmerataan
dalam hal materi antara satu orang dengan yang lain.
Islam
sebagai agama yang syumul juga mengatur mengenai perkara hutang piutang.
Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk
memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman
sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep
yang diadopsi dari luar Islam. Khususnya utang piutang (qordh). Betapa
banyak praktek perbankan yang mengatas namakan syari’ah Islam, namun riba di
dalamnya tak terhindarkan. Oleh karena itu, perkara hutang piutang ini sangatlah
penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan
transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Berkenaan
dengan permasalahan di atas, kami mencoba untuk menguraikan konsep utang piuang
dalam islam, kami mempersembahkan makalah ini sebagai wujud sumbangsih khazanah
disiplin ilmu fiqh mu’amalah baik bagi mahasiswa Ma’had ‘Aly Hidayayaturrahman
maupun khalayak umum.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi qardh?
2.
Apa landasan hukum qardh?
3.
Apa saja rukun qardh?
4.
Bolehkah adanya khiyar (hak pilih)
dan batas waktu dalam qardh?
5.
Apa
hukum dari qardh?
6.
Apa
saja syarat diperbolehkannya qardh?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan definisi qardh.
2.
Untuk memaparkan landasan hukum mengenai al-Qardh.
3.
Untuk menjelaskan rukun qardh.
4.
Untuk memaparkan hukum khiyar dan batas waktu dalam qordh.
5. Untuk menjelaskan hukum dari qordh.
6. Untuk menjelasskan syarat yang di perbolehkan dalam qordh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut bahasa berarti terputus,
dan harta yang diberikan kepada orang yang meminjam dinamakan qardh karena terputus
dari pemiliknya. Sedangkan menurut istilah adalah harta yang diberikan seseorang dari
harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu
perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain
untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sedangkan menurut
Sayyid Sabiq qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh)
seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.[1]
Menurut Hanabilah
qardh merupakan bagian dari akad salaf, karena sang peminjam memanfaatkan sesuatu
yang dipinjamnya.[2]
B. Landasan Hukum
Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqoroh ayat 245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Sedangkan menurut sunnah, sabda Rosulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam: “Barang siapa yang memberi pinjaman kepada
seorang mulim 1 dirham sebanyak dua kali, dia berhak mendapat ganjaran sedekah
satu kali.” (HR. Ibnu Majah)
Kaum muslimin telah bersepakan tentang
kebolehan qordh dalam islam. [3]
Hukum qardh sunnah bagi pemberi hutang (muqrid), dan
mubah bagi penerima utang (muqtarid) berdasarkan hadits di atas.
C.
Rukun-Rukun Qardh
1.
Shighoh (ijab dan qobul)
Mengenai shighohnya
maka bisa menggunakan lafadz qardh seperti “aku menghutangimu”[4]
atau salaf karena keduanya digunakan dalam lafadz syariat. Dibolehkan juga
dengan lafadz yang semakna dengan keduanya seperti kata-kata.”malaktuka
haadzaa li turodda li” (aku berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan
syarat kamu mengembalikan gantinya kepadaku).[5]
Sedangkan untuk lafadz “malaktuka”
(aku memberikannya kapadamu) namun tidak disebutkan syarat untuk
mengembalikannya maka itu bukan termasuk qardh, melainkan hibah.[6]
2.
‘Aqidain (pelaku transaksi)
Dan disyaratkan bagi pelaku qardh
seorang yang mampu mengelola harta, karena qardh berkenaan dengan akad
harta sehingga tidak sah kecuali dilakukan oleh orang-orang yang cakap dalam
mengelola harta seperti halnya jual beli.
Dan disyaratkan juga bagi
pemberi hutang “ahliyatu tabarru” atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
(orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, balgh, berakal sehat, dan
pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Sedangkan bagi
penerima hutang disyaratkan memiliki kecakapan dalam bermuamalah.[7]
3.
Ma’qud ‘alaihi (harta muqridh)
Para ulama berbeda pendapat
mengenai barang ini:
Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa qardh dibolehkan pada harta mitsli yaitu harta yang bisa
ditakar seperti biji-bijian, yang bisa ditimbang seperti kapas, yang bisa
diukur seperti kain, yang bisa dijual satuan dengan ukuran yang tidak jauh
berbeda yang satu dengan yang lain seperti kelapa dan telur serta kertas satu
ukuran. Dan diperbolehkan juga qardh pada roti, baik dijual secara
ditimbang atau satuan, karena roti merupakan kebutuhan khalayak orang banyak. Akad
qardh tidak diperbolehkan pada harta qimiyyat (harta yang dihitung
berdasarkan nilainya) seperti hewan, kayu bakar, dan properti. Dan begitu juga
barang satuan yang jauh berbeda antara satuannya. Hal ini dikarenakan sulit
mengembalikan harta semisalnya.
Jumhur berpendapat bahwa
diperbolehkan melakukan qardh apada setiap harta mitsli seperti
emas, perak dan makanan, ataupun pada harta qimiy seperti barang-barang
dagangan, binatang dan yang semisal, berdasarkan hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Abu Rafi’ bahwa nabi pernah meminjam unta bakr (unta
yang masih muda). Unta tidak termasuk kategori harta yang bisa ditakar dan
ditimbang. Dan alasan lainnya, sesuatu yang dapat dijadikan objek kamoditi salam
yang bisa dimiliki dengan akad jual beli dan diidentifikasi dengan sifatnya,
maka ia boleh dijadikan objek akad qardh sebagaimana barang yang ditakar
dan ditimbang.[8]
Sedangkan komoditi yang tidak dibolehkan dijadikan objek transaksi salam
maka tidak sah untuk digunakan dalam transaksi qardh, seperti permata
dan sejenisnya. Karena akad qardh menuntut adanya pengembalian benda
serupa, sedangkan benda yang tidak tentu dan langka tidak mungkin atau susah
untuk dikembalikan yang semisal dengannya.
Akad qardh sah dilangsungkan pada
setiap benda yang boleh diperjual belikan kecuali manusia. Jika dia budak maka
boleh diperjual belikan namun tidak boleh dipinjamkan (qardh) karena itu
merupakan sesuatu yang hina bagi seorang muslim dan ditakutkan menyebabkan
fitnah dan kerusakan.[9]
Sedangkan untuk budak wanita dikarenakan
akan mengakibatkan adanya pinjam meminjam kehormatan.[10]
Tidak sah melakukan qardh atas manfaat atau jasa,
berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah. Seperti mengizinkan orang lain tinggal
dirumahnya dengan imbalan orang tersebut mengizinkannya tinggal di rumah orang
itu, atau membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memanen sehari.
Begitu juga tidak sah akad qardh
pada benda yang tidak bisa ditetapkan menjadi tanggungan, seperti tanah,
gedung, toko dan kebun, karena qardh menuntut adanya pengembalian benda
semisal, dan benda-benda tersebut tidak ada misalnya.
D.
Hukum Khiyar (Hak Pilih) Dan Batas
Waktu Dalam Qardh.
Khiyar syarat dan khiyar
majlis tidak berlaku dalam akad qardh karena khiyar ditujukan
untuk membatalkan perjanjian atau akad, sedangkan dalam akad qardh,
siapa saja dari kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan akad bila ia
berkehendak, sehingga hak khiyar ini menjadi tidak bermakna.
Mengenai batas waktu, jumhur fuqoha’ tidak membolehkannya dijadikan sebagai syarat
dalam akad qardh. Oleh karenanya, apabila akad qardh ditangguhkan
sampai batas waktu tertentu, maka ia akan tetap dianggap jatuh tempo. Karena
pada dasarnya ia sama dengan bentuk jual beli dirham dengan dirham, sehingga
bila ada penangguhan waktu maka ia akan terjebak dalam riba nasi’ah. Dan
dikarenakan pula qardh adalah salah satu bentuk kegiatan sosial,
maka pemberi pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika telah jatuh tempo.
Meskipun demikian, para ulama Hanafiah berpendapat diperbolehkannya
penangguhan dalam qardh, meski bukan suatu keharusan. Namun bisa
menjadi keharusan dalam hal:
1. Wasiat. Yaitu
apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan hartanya pada orang lain sampai
waktu tertentu, satu tahun misalnya. Maka dalam kondisi ini, ahli waris tidak
boleh menagih peminjam sebelum jatuh tempo.[11]
2. Adanya penyangsian. Yaitu
tatkala akad qardh disangsikan, kemudian pemberi pinjaman
menangguhkannya. Maka pada saat ini batas waktu menjadi keharusan.
3. Keputusan pengadilan. Yaitu
bila hakim memutuskan keharusan akad qardh dengan batas waktu.
4. Dalam akad hiwalah
(pengalihan hutang), yaitu jika peminjam mengalihkan tanggungan hutangnya pada
pihak ketiga, lalu pemberi pinjaman menangguhkan hutang itu. Atau ia
mengalihkan tanggungan hutangnya pada peminjam lain yang hutangnya
ditangguhkan. Dengan demikian sebenarnya akad hiwalah merupakan akad
penangguhan hutang, bukan akad qardh.
Imam Malik berpendapat bahwa
akad qardh boleh diundurkan dengan penangguhan berdasarkan sabda Nabi saw,
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang disepakati diantara
mereka.” (HR. Ahmad)
E.
Hukum Qardh
Ditinjau dari dua sisi:
Pendapat Abu Hanifah dan Muhammad,
Syafi’iyyah dan Hanabilah: ditetapkannya harta qardh jika terjadi serah
terima barang, bagi yang meminjam ia mengembalikan dengan harta yang semisal
bukan harta yang telah dipinjamkan, seperti takaran dan timbangan. Adapun menurut
pendapat Syafi’iyyah, maka dikembalikan dengan semisalnya, karena Nabi Saw
meminjam unta yang masih muda dan dikembalikan dengan unta yang lebih tua, dan
beliau bersabda : “sesungguhnya pilihan
kalian adalah sebaik-baik pembayaran (keputusan). Pendapat Hanabilah ada
dua sisi: pertama, dikembalikan dengan yang semisalnya , kedua, dikembalikan
dengan yang semisal yang sifatnya hampir sama dengan yang dipinjam.
Malikiyah
berpendapat bahwa ditetapkannya kepemilikan dalam qardh yaitu adanya
ijab qabul seperti hibah, sedekah dan ‘ariyah (meminjam barang), walaupun hartanya belum diserahkan.
Peminjam boleh mengembalikan harta semisal yang telah dipinjam dan boleh juga
mengembalikan harta yang dipinjam itu sendiri. Baik itu harta mitsliyat atau tidak. Hal itu terjadi selama
harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika terjadi
perubahan, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya...
Tempat pengembalian qardh: Para
Ulama bersepakat bahwa pengembalian
barang pinjaman hendaknya di tempat di mana akad qardh itu
dilaksanakan, dan boleh juga mana saja apabila tidak ada keharusan untuk
membawanya atau memindahkannya, juga tidak ada halangan di jalan, sebaliknya
jika terdapat halangan apabila membayar di tampat lain, muqrid tidak
perlu menyerahkannya.
Qordh
yang mendatangkan keuntungan
Para fuqaha bersepakat atas haramnya
qardh yang mendatangkan keuntungan, karena hal itu adalah riba. Maka tidak
diperbolehkan bagi pemberi pinjaman
mengambil keuntungan dari harta yang
telah dipinjamkan.
Jika tidak mensyaratkan adanya
keuntungan, maka makruh tahrim jika adanya keuntungan menurut Hanafiyah[12], kecuali jika ada
izin dari peminjam maka tidak makruh lagi, sebagaimana yang termaktub dalam
buku Hanafiyah yang mu’tabar. Tetapi, sebagian Ulama tetap tidak
memperbolehkannya meski sudah ada izin peminjam. Pendapat ini yang sesuai
dengan ruh syariat berkaitan dengan pengharaman riba.
Malikiyah, Hasan Al-Bashri,’Al-Auza’i[13] berpendapat bahwa haram memberi hadiah kepada
orang yang dipinjami jika bermaksud untuk menunda pembayaran dan sebagainya,
dan diperbolehkan melebihkan bayarannya ketika melunaskan hutang apabila
hutangnya disebabkan oleh jual beli. Apabila disebabkan oleh akad qardh,
maka diharamkan jika tambahannya merupakan syarat, janji ataupun kebiasaan yang
berlaku. Dan diperbolehkan jika bukan karena syarat, janji ataupun kebiasaan
yang berlaku, karena Nabi saw meminjam unta muda dan membayarnya dengan unta
yang lebih tua dan pilihan. Imam Malik menjelaskan bahwa tambahan tidak diperbolehkan
kecuali pada jumlah yang sedikit sekali. Adapun hal itu diperbolehkan oleh Ibnu
Habib.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, karena
Nabi saw melarang salaf (hutang) dengan jual beli, dan yang dimaksud
dengan salaf adalah qardh. Dan riwayat dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud
dan Ibnu Abbas[14], bahwa mereka
melarang qardh yang mendatangkan manfaat.
Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan
melunasi hutang dengan menambahkannya apabila tidak ada syarat tertentu dalam qardh,
baik ia membayarnya dengan barang yang lebih baik sifatnya atau kadarnya.
Berdasarkan riwayat Abu Rafi’ r.a bahwa ia berkata, “Rasulullah pernah berutang
unta yang masih muda kepada seseorang, lalu beliau mendapat unta sedekah. Maka
beliau menyuruhku untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta muda. Maka
aku berkata, “wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan kecuali unta yang lebih
tua dari jenis yang bagus”, lalu beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya,
sesungguhnnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalm membayar hutang”.
Diriwayatkan pula dari Jabir r.a, ia
berkata, “Aku mempunyai hak hutang pada Nabi saw, kemudian beliau membayarkan
dan menambah bayarannya.
Ringkasannya : jumhur memperbolehkan
penambahan dalam membayar hutang apabila didalamnya tidak terdapat syarat
tertentu, seperti yang telah dijelaskan oleh Malikiyah sebelumnya.
F. Syarat Diperbolehkannya Qardh
Akad qardh
diperbolehkan dengan dua syarat:
a. Tidak mendatangkan
keuntungan, hal ini dilarang berdasarkan kesepakatan Para Ulama, jika
keuntungan tersebut untuk pemberi pinjaman.[15]
b. Akad qardh
tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli atau selainnya. Adapun
hadiah dari pihak peminjam, maka menurut Malikiyah hal itu tidak boleh diterima
oleh pemberi pinjaman karena dapat mengarah pada penundaan pelunasan. Sedangkan
Jumhur Ulama membolehkannya jika bukan merupakan syarat.[16]
Akad Suftajah[17] adalah transaksi
keuangan dimana seorang pemberi pinjaman memberikan pinjaman dana pada peminjam
di suatu daerah, lalu peminjam, wakilnya atau orang yang berutang padanya
berkewajiban melunasi pinjaman itu kepada pemberi pinjaman, wakilnya atau orang
yang memberinya pinjaman di daerah lain.
Maka hal ini dilarang menurut Jumhur,
karena merupakan qardh yang mendatangkan keuntungan, dan hal ini
diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat menurut pendapat Malikiyah, untuk menjaga
hartanya. Dan menurut pendapat Hanabilah hal ini diperbolehkan apabila tanpa
adanya pembayaran, karena adanya keuntungan tersebut bukan hanya oleh si
peminjam, namun dirasakan oleh kedua belah pihak.
Tabungan pos dan surat deposito
Harta yang dititipkan (ditabung) oleh
nasabah pada kenyataannya adalah pinjaman, bukan penitipan, karena harta yang
dititipkan tersebut dikelola oleh bank kemudian dimanfaatkan untuk pinjaman
ribawi. Dan bahwasanya pihak bank tidak boleh mengelola harta yang dititipkan tersebut,
tetapi apabila yang menitipkan harta tersebut mengizinkan hartanya untuk
dikelola, maka ia berubah kedudukannya dari wadi’ah (titip-menitip) manjadi qardh.
Bahwasanya harta deposito dan
tabungan pos yang dititipkan di bank tersebut
diambil keuntungan dari harta yang dititipkan, dan sebagian keuntungan
tersebut diberikan kepada si penitip, dan sisanya adalah untuk pihak bank. Dan
keuntungan yang sudah dipatok dengan bunga tahunan tertentu di dalam deposito
tidak sesuai dengan syariat. Adapun yang diperbolehkan adalah laba diberikan
tanpa ditentukan jumlahnya dan adanya kesepakatan bahwa kerugian ditanggung
bersama bila hal itu terjadi. Jika dia hanya mendapatkan keuntungan dan tidak
ada kerugian, maka hal ini diharamkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Qardh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
2.
Rukun qardh adalah Ijab dan qabul, pelaku transaksi, harta muqrid,
dan khiyar (hak
pilih).
3.
Ditetapkannya harta
qardh jika terjadi serah terima barang, bagi yang meminjam ia mengembalikan dengan harta yang semisal. Para fuqaha bersepakat atas haramnya qardh yang mendatangkan
keuntungan, karena hal itu adalah riba, Syafi’iyah dan
Hanabilah memperbolehkan melunasi hutang dengan menambahkannya apabila tidak
ada syarat tertentu dalam qardh.
4.
Jumhur
berpendapat dalam akad qardh pemberi pinjaman berhak meminta ganti
hartanya jika telah jatuh tempo, sedangkan ulama Hanafiah berpendapat
diperbolehkannya penangguhan dalam qardh.
5.
Akad qardh diperbolehkan dengan dua syarat, pertama: tidak
mendatangkan keuntungan, kedua: akad qardh tidak dibarengi dengan
transaksi lain, seperti jual beli atau selainnya.
B.
Saran
Kami
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Sabiq, Sayyid. 1977. Shohih Fiqh Sunnah.
Beirut, Libanon: Darul Kutub Al-Aroby.
2.
Al-Jazir, Abdurrohman. 2003. Al-Fiqh ‘Ala
Madzhabil Arba’ah. Beirut, Libanon: Darul Fiqh.
3.
Zuhaili,
Wahbah. 1985. Fiqh Islam Waadillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
4.
Asy-Syarbini, Muhamad al-Khotib.
1994. Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfazh al-Minhaj. Beirut, Libanon:
Darul Fikr.
5.
As-Suyuti, Musthofa. 1994. Ghoyatul
Muntaha. Al-Maktab Al-Islam.
6.
As-Sayrozi, Imam. Tth. Almuhadzab Fi Fiqh
Imam Syafi’i. Beirut, Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah
7.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Sholih. 2008. Syarhul
Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’. Mesir: Jannatul Afkar.
8. Al-Khiraqi, Imam
Abi Qasim Amru bin Husain. Al-Mughni. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
[1]
Sayyid Sabiq, Shohih Fiqh Sunnah (Beirut: Darul Kutub Al-Aroby 1397
H-1977 M) jilid: 3, hlm: 144, cetakan: 3
[2]
Abdurrohman Al-Jazir, Al-Fiqh ‘Ala Madzhabil Arba’ah (Beirut: Darul Fiqh
Al-Ilmiyah 1424 H-2003 M) jilid:2, hlm:304, cetakan:2
[3]
Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405
H-1985 M) jilid: 4, hlm: 720, cetakan:2
[4]
Imam Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah 1415
H-1994 M), juz 3, hlm 30, cetakan: 1
[5]
Musthofa As-Suyuti, Ghoyatul Muntaha, (Al-Maktab Al-Islam 1415 H-1994
M), juz:3, hal 238, cetakan: 2
[6]
Imam As-Sayrozi, Almuhadzab Fi Fiqh Imam Syafi’i, (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyah), juz 2,hlm 82
[7]Imam
Syarbini, Mughni Muhtaj, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah 1415 H-1994 M),
juz 3, hlm 31, cetakan: 1
[8]
Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405
H-1985 M) jilid: 4, hlm: 723, cetakan:2
[9]
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’
(Mesir: Jannatul Afkar 2008 M) jilid: 4, hlm: 52, cetakan: 1
[10]
Musthofa As-Suyuti, Ghoyatul Muntaha, (Al-Maktab Al-Islam 1415 H-1994
M), jilid:3, hlm 240, cetakan: 2
[11]
Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu (Damaskus: Darul Fikr 1405
H-1985 M) jilid: 4, hlm: 722, cetakan:2
[12]
Abdurrahman Al-Jaziri, , Al-Fiqh ‘Ala Madzhabil Arba’ah (Beirut: Darul
Fiqh Al-Ilmiyah 1424 H-2003 M) jilid:2, hlm:304, cetakan:2
[13]
Imam Abi Qasim Amru bin Husain Al-Khiraqi, Al-Mughni,(Beirut: Darul
Kutub Al-Ilmiyah), jilid 3, hlm: 557, cetakan: 1
[14]
Imam Abi Qasim Amru bin Husain Al-Khiraqi, Al-Mughni,(Beirut: Darul
Kutub Al-Ilmiyah), jilid 3, hlm: 557, cetakan: 1
[15]
Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuh, (Damaskus: Darul Fikr 1405
H-1985 M), jilid: 5, hlm: 3796, cetakan: 2.
[16]
Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuh, (Damaskus: Darul Fikr 1405
H-1985 M), jilid: 5, hlm: 3796, cetakan: 2.
[17]
Suftajah atau saftajah atau saftujah-penyebutan yang pertama adalah yang paling
masyhur-merupakan kata serapan dari bahasa Persia. Maknanya kertas yang ditulis
oleh pemberi pinjaman kepada orang yang akan menjadi wakilnya untuk menerima
pelunasan hutang di tempat yang telah disepakati.
edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar