nikah syighor

| Rabu, 07 Maret 2018

NIKAH SYIGHOR
Oleh: Nuha Shofiyah
I.                   PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan salah satu fase terpenting dalam kehidupan manusia. Allah mensyariatkan para hamba-Nya untuk menikah. Sebab di dalamnya terkandung banyak maslahat dan hikmah yang agung. Dalam pernikahan mewajibkan seorang laki-laki untuk memberikan mahar kepada calon istri, karena mahar adalah salah satu hak istri atas suami. Allah Ta’ala telah memerintahkan para suami untuk memberikan maharnya dalam surat An-Nisa’ ayat: 3:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”
Adanya mahar merupakan bentuk pemuliaan islam terhadap kaum wanita. Karena selain menjadi hak istri, mahar juga menjadi sarana penghalalan hubungan suami istri. Dan ketiadaan mahar menyebabkan haramnya hubungan tersebut (jima’), kecuali jika mendapat ridho dari sang istri.
Dalam beberapa kasus pernikahan fasid disebabkan karena tidak adanya mahar, termasuk di dalamnya nikah syighor. Lantas apa maksud dari nikah syighor tersebut? Lalu bagaimana para ulama’ memandang pernikahan jenis ini?
II.                PEMBAHASAN
A.    Definisi
Nikah secara bahasa berarti berkumpul, yaitu berkumpulnya senggama dan akad. Sedangkan menurut syariat yaitu sebuah akad yang terkandung di dalamnya pembolehan bersenang-senang dengan seorang perempuan, baik dengan senggama ataupun mencium. Dan dipastikan sebelumnya bahwa perempuan tersebut bukan mahromnya. Baik dari jalur persusuan atau kekerabatan.[1]
Syighor menurut bahasa berarti mengangkat. Istilah Syighor  biasa digunakan dalam kalimat “شغر الكلب إذا رفع رجله ليبول yang berarti anjing mengangkat satu kakinya untuk kencing.[2]
Sedangkan nikah Syighor adalah seorang wali menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang laki-laki, dengan syarat laki-laki tersebut juga menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya tanpa adanya mahar (mitsli atau musamma) antara keduanya. Dan mereka menjadikan budh’u (pernikahan) sebagai mahar bagi masing-masing.[3]
Dinamakan syighor adalah untuk menunjukkan keburukan dari pernikahan jenis ini, bahkan diserupakan dengan seekor anjing yang mengangkat kakinya untuk kencing.[4]

B.     Dasar Hukum
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa’: 4)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الشِّغَارِ
            “ Dari Ibnu Umar ra bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang nikah syighor” (HR. Bukhori)[5]
قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا شِغَارَ فِي الإِسْلامِ 
            Dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: tidak ada syighor dalam islam”(HR. Muslim)[6]



C.    Sifat Nikah Syighor
Nikah syighor memiliki dua sifat, yaitu:
1.      Seorang laki-laki menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan ajnabi, dengan syarat laki-laki tersebut juga menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya tanpa adanya mahar (mitsli atau musamma) antara keduanya. Atau mereka menjadikan budh’u sebagai mahar bagi masing-masing.[7] Sedangkan budh’u tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak perempuan, maka itu tidak bisa dikatakan mahar, karena manfaatnya kembali kepada wali. Dan ini suatu kedzaliman bagi kedua wanita yang dinikahkan.[8]
2.      Kedua wali mengajukan persyaratan dalam pernikahan, yaitu dengan menikahkan dengan perempuan di bawah perwaliannya. Sebab pelarangan nikah jenis ini karena adanya ketergantungan (syarat). Yaitu seperti perkataan “aku tidak akan menikahkan anakku denganmu sampai kamu menikahkan anakmu denganku”. [9]
Para ulama’ berselisih pendapat tentang sifat yang kedua, karena pada asalnya sifat kedua termasuk dari bagian sifat yang pertama.
D.    Hukum Nikah Syighor Perspektif Empat Madzhab
Para ulama’ bersepakat akan larangan nikah syighor, namun mereka berselisih pendapat jika telah terjadi syighor apakah batal akad dari pernikahan tersebut.
1.      Hanafiyah
Hukum akad dalam nikah syighor adalah sah, dan diwajibkan bagi keduanya untuk membayar mahar mitsli.[10] Penamaan syighor menurut Hanafiyah  jika didalamnya tidak ada penyebutan mahar.
 Keabsahan nikah syighor dikarenakan pernikahan bersifat muabbad. Jika di dalamnya terdapat syarat fasid seperti syarat untuk menjadikan budh’u mahar bagi masing-masing pihak (padahal budh’u tidak boleh dijadikan mahar) maka, syarat tersebut batal, namun akadnya tetap sah. Diwajibkan bagi keduanya untuk membayar mahar mitsli dan tidak diwajibkan membatalkan akad disebabkan syarat fasid. Karena pada asalnya akad tidak batal dengan adanya syarat fasid.[11]
2.      Malikiyah
Ulama’ Malikiyah bersepakat tentang haramnya nikah syighor karena adanya ketetapan syariat tentang pelarangannya. Namun mereka berselisih apakah sah jika dalam pernikahan tersebut disebutkan adanya mahar, Imam Malik berkata, “tidak sah hukumnya meskipun ada mahar, jika sudah terjadi penikahan maka wajib dipisahkan selamanya baik sebelum jima’ atau sesudahnya.[12]
3.      Syafi’iyah
Hukumnya adalah batil,dan pernikahannya batal, jika budh’u dijadikan mahar bagi masing-masing pihak. Begitu juga jika di dalamnya terdapat mahar berupa harta dan budh’u. Namun menjadi sah jika terdapat mahar di dalamnya.[13]
4.      Hanabilah
Hukum dari akad nikah syighor adalah fasid, dan mengharuskan untuk dipisahkan. Sifat fasid dalam pernikahan ini karena adanya ketergantungan pada syarat fasid.[14] Jika terdapat mahar dalam pernikahan tersebut menurut Imam Ahmad pernikahannya sah.[15] Sedangkan menurut Al-Khiroqi tidak sah.[16]


III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Nikah syigor adalah seorang wali menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang laki-laki, dengan syarat laki-laki tersebut juga menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya tanpa adanya mahar (mitsli atau musamma). Dan mereka menjadikan pernikahan tersebut sebagai mahar masing-masing.
Rasulullah melarang praktek nikah syighor, jika Rasulullah melarang suatu hal sudah pasti di dalamnya terdapat kerusakan. Para ulama’ sepakat hukum dari pernikahan tersebut haram, namun mereka berselisih bilamana telah terjadi syighor apakah batal akad dari pernikahan tersebut. Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa akadnya tidak sah, dan harus dipisahkan, sedangkan Hanafiyah berpendapat nikahnya sah namun diwajibkan bagi kedua belah pihak untuk membayar mahar mitsli.
 Secara umum illat dari pengharaman syighor karena ketiadaan mahar, maka tidak dinamakan syigor jika terjadi pernikahan silang namun ada mahar di dalamnya, dan hukum pernikahnya adalah sah.
B.     Saran
Sebagai muslim yang taat sudah seharusnya kita memperhatikan hak-hak sesama manusia, termasuk di dalamnya mahar dalam pernikahan. Karena meniadakan mahar sama saja mendzolimi hak perempuan.
Bagi seorang wali hendaknya tidak menikahkan perempuan di bawah perwaliannya hanya untuk kesenangan pribadi, namun ia harus memperhatikan kafa’ah serta keridhoan dari perempuan tersebut. Wallahu A’lam Bish Showab








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Kariim
Ahdal, Al-, Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah, 1983, Al-Ankihatul Fasidah,  cet.ke-1 Riyadh: Maktabah Dauliyah
Astqolani, Al-, Ibnu Hajar, 2004, Fathul Baari Bisyarhi Shohihil Bukhori, jilid. 9, Mesir: Darul Hadits
Babiruti, Al-, Akmaluddin, tt, Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah, jilid. 3, Beirut: Darul Fikr
Hanabili, Al-, Manshur bin Yunus bin Sholahuddin Ibnu Hasan bin Idris Al-Bahuti, tt, Kisyaful Qinaa’ ‘An Mutunil Qinaa’, jilid. 5, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah
Najdi, An-, Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At-Tamimi, tt, Mukhtashor Al-Inshof Wa Syarhhul Kabir, cet.ke-1, Riyadh, Muthobi’ir Riyadh
Nawawi, Imam, 2005, Minhajut Tholibin Wa ‘Umdatul Muftin, cet.ke-1, Beirut: Darul Minhaj
Nawawi, Imam,2001, Shohih Muslim Bisy Syarhi Nawawi, cet.ke-4, jilid. 5, Mesir: Darul Hadits
Qudamah, Ibnu, 1968, Al-Mughni, jilid. 7, Mesir: Maktabah Qohiroh
Rusyd, Ibnu, 1982, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, cet.ke-6, jilid: 2, Beirut: Darul Ma’rifah
Shibagh, Ash-, Muhammad Mutawali, 1981, Al-Idhoh Fi Ahkamin Nikah, ttp, Maktabah Al-Madbuli
Zuhaili, Wahbah, 1985, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, cet.ke-2, jilid: 7, Damaskus: Darul Fikr




[1] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus, Darul Fikr, 1985) jilid. 7, hal. 29, cet.ke-2
[2] Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah Al-Ahdal, Al-Ankihatul Fasidah,  (Riyadh: Maktabah Dauliyah, 1983), hal. 180, cet.ke-1
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut, Darul Ma’rifah ,1982) jilid. 2, hal. 57, cet.ke-6
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Mesir, Maktabah Qohiroh, 1968) jilid. 7, hal. 176
[5] (HR. Bukhori no. 5112) Ibnu Hajar Al-Astqolani, Fathul Baari Bisyarhi Shohihil Bukhori,  jilid. 9, (Mesir, Darul Hadits, 2004), hal.186
[6] (HR. Muslim no: 1415) Imam Nawawi, Shohih Muslim Bisy Syarhi Nawawi, cet.ke-4, jilid. 5 (Mesir, Darul Hadits, 2001), hal.216

[7] Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah Al-Ahdal, Al-Ankihatul Fasidah,  (Riyadh: Maktabah Dauliyah, 1983), hal. 182, cet.ke-1
[8] Muhammad Mutawali Ash-Shibagh, Al-Idhoh Fi Ahkamin Nikah, (Maktabah Al-Madbuli, 1981), hal. 108
[9] Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah Al-Ahdal, Al-Ankihatul Fasidah,  (Riyadh: Maktabah Dauliyah, 1983), hal. 182, cet.ke-1
[10] Akmaluddin Al- Babiruti, Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah, (Beirut, Darul Fikr) , jilid. 3, hal. 338
[11] Abdurrahman bin Abdurrahman Syamilah Al-Ahdal, Al-Ankihatul Fasidah,  (Riyadh: Maktabah Dauliyah, 1983), hal. 184, cet.ke-1
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,( Beirut, Darul Ma’rifah ,1982) jilid: 2, hal. 57, cet.ke-6
[13] Imam Nawawi, Minhajut Tholibin Wa ‘Umdatul Muftin, (Beirut, Darul Minhaj, 2005) hal. 375, cet.ke-1
[14] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Mesir, Maktabah Qohiroh, 1968) jilid. 7, hal. 176
[15] Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At-Tamimi An-Najdi, Mukhtashor Al-Inshof Wa Syarhhul Kabir, (Riyadh, Muthobi’ir Riyadh) hal. 661, cet.ke-1
[16] Manshur bin Yunus bin Sholahuddin Ibnu Hasan bin Idris Al-Bahuti Al-Hanabili, Kisyaful Qinaa’ ‘An Mutunil Qinaa’, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah,), jilid. 5, hal.93

edit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Instagram

BTemplates.com

Popular Posts

Pages

Blogroll

About

Pages - Menu

Popular Posts

© Design 1/2 a px. · 2015 · Pattern Template by Simzu · © Content coretan sederhana